Jumat, 11 Desember 2009

Menghargai Rencana Tuhan



Setiap orang, siapapun dia, apapun pekerjaannya, pastilah memiliki cita-cita atau tujuan yang hendak dicapainya. Tapi tidak jarang apa yang kita inginkan, apa yang telah kita cita-citakan, tidak berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Ada kalanya kita menemui kegagalan. Tidak jarang pula kegagalan dapat membuat seseorang menjadi frustasi dan merasa begitu terpuruk, hinga dia sulit untuk bangkit kembali. Bahkan parahnya, ada yang nekad bunuh diri.
Ada yang mengatakan kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda dan ada pula yang mengatakan, kegagalan adalah guru terbaik untuk meraih kesuksesan. Apapun kalimatnya, tujuannya tetap sama, jangan pernah terpuruk karena kegagalan, karena dunia tidak akan berakhir hanya karena kita menemui kegagalan.
Jika kita anggap kegagalan sebagai musibah, percayalah akan selalu ada hikmah dibalik musibah. Akan selalu ada jalan untuk keluar dari kegagalan. Tuhan telah menetapkan garis hidup setiap manusia. Jodoh, nasib, bahkan kematian seseorang telah digariskan sebelum kita dilahirkan ke dunia ini. Karena Tuhan telah memiliki rencana-Nya sendiri terhadap hidup kita, sebuah rencana yang menjadi rahasia besar Tuhan terhadap kita, yang hanya dapat kita buka sedikit-demi sedikit melalui jalan ikhtiar.
Oleh sebab itu, kita harus selalu berpikir positif kepada Tuhan atas segala kehendak-Nya. Apapun yang terjadi pada diri kita, baik itu kegagalan , musibah apalagi itu berupa nikmat, adalah rencana Tuhan yang wajib untuk kita hargai. Tuhan pastilah telah merencanakan sesuatu yang baik terhadap hidup kita, baik atau buruknya hasil yang kita capai, adalah tergantung dari keseriusan kita, seberapa besar keinginan kita dan seberapa keras usaha kita untuk memujudkan harapan dan cita-cita kita. Ingat, Tuhan tidak akan merubah suatu kaum, sebelum kaum tersebut merubah dirinya sendiri. So… Jangan pernah menyalahkan Tuhan atas kegagalan/musibah yang terjadi pada diri kita (YSG)

Rumput Tetangga Selalu Lebih Hijau


Pernah dengar ungkapan “Rumput tetangga lebih hijau”? saya yakin kita semua pasti memahami maknanya. Itulah sifat alami manusia, selalu memandang sesuatu yang bukan milikinya jauh lebih baik, daripada yang ia miliki.
Masih ingat masa-masa saat baru lulus sekolah/kuliah, saat kita berjuang untuk mencari kerja? Dimana kita sangat berharap untuk dapat memiliki pekerjaan, agar dapat memiliki penghasilan sendiri. Tetapi apa yang terjadi saat kita telah memperoleh pekerjaan? Kita mengeluh! Badan lelah, pikiran diperes, gaji kecil, atasan galak dan seribu macam keluhan lainnya, tanpa kita menyadari bahwa itulah resiko dari pekerjaan kita. itulah tanggung jawab yang harus kita pikul dari pekerjaan kita, yang dulu pernah kita terima dengan penuh semangat dan kegembiraan.
Tidak jarang pula, kita mulai membanding-bandingkan perusahaan kita dengan perusahaan lain, yang kita anggap fasilitasnya jauh lebih baik daripada tempat kita bekerja saat ini. Ini memang sifat alami yang sudah sewajarnya kita maklumi sebagai sesama manusia. Tapi sifat ini tidak boleh kita biarkan terus menerus menguasai pikiran kita. karena kalau kita biarkan, dampak negatifnya akan sangat luar biasa bagi diri kita. Minimal kita akan stress dan maksimal kita akan terkena stroke, mau?
Lalu bagaimana caranya untuk mengatasi masalah ini? belajarlah bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. pekerjaan yang kita miliki adalah sebuah karunia, karena dengan pekerjaan tersebut, kita dapat menghidupi keluarga kita, dapat memberikan mereka kebutuhan pangan dan sandang yang mencukupi. Coba bayangkan kalau saat ini kita tidak memiliki penghasilan apapun, bagaimana kita dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut. Bersyukur adalah inti dari kebahagiaan, karena dengan bersyukur akan mengingatkan kita, betapa banyak karunia yang telah diberikan Tuhan kepada kita.
Karena itu syukurilah apa yang telah kita miliki saat ini, dengan begitu rumput di halaman kita akan terlihat jauh lebih hijau dari rumput dimanapun juga (YSG)

Selasa, 08 Desember 2009

5 Keinginan Sebelum Mati



Pada sebuah kesempatan, saya pernah mengajukan 3 pertanyaan kepada staff-staff saya. 2 pertanyaan saya lontarkan terlebih dahulu untuk mereka jawab. Pertama, apakah 5 keinginan anda hari ini? lalu mereka jawab: Saya ingin merokok diluar, Saya mau mengisi pulsa, Jam istirahat nanti saya mau ngajak pacar saya makan siang, Saya mau minum kopi, Sepulang dari kantor saya  mau nonton film. Jawaban-jawaban tersebut mereka lontarkan dengan santai dan penuh canda.
Kemudian saya ajukan pertanyan yang kedua, Seandainya hari ini kalian akan mati apa yang kalian inginkan? Kemudian mereka menjawab dengan nada yang serius: Saya ingin minta maaf pada kedua orang tua, Saya ingin bertobat, Saya ingin memperbaiki kesalahan saya, Saya ingin membahagiakan keluarga, Saya akan rajin ibadah.
Coba kita perhatikan, jawaban pada pertanyaan pertama, adalah keinginan-keinginan yang sepele, tapi pada pertanyaan kedua, mereka jawab dengan keinginan-keinginan yang luar biasa hebat dan mulia. Sebuah keinginan besar yang mampu membuat hidup seseorang jauh lebih baik.
Dan pertanyaan ke tiga adalah: Kenapa keinginan yang besar dan mulia, seperti tersebut di atas, baru muncul setelah kita tahu kalau kita akan mati? Apa gunanya? Karena sudah sangat terlambat. Kenapa keinginan-keinginan yang mulia tersebut tidak muncul saat ini dalam benak kita? saat kita masih sehat dan masih diberi kesempatan untuk mewujudkannya? (YSG)

Senin, 07 Desember 2009

Rendah Diri Pangkal Minder


Dulu saya pernah punya seorang staff, ia adalah seorang yang jujur, ulet, pantang menyerah, hasil kerjanya pun sangat baik, hampir tidak ditemukan masalah.. pokoknya tipe pekerja keras yang sempurna dah…
Dalam beberapa kesempatan, seperti dalam meeting atau hanya sekedar kumpul bareng rekan-rekan sejawat, saya perhatikan dia tampak membatasi diri, tampak malu-malu dan tidak percaya diri. Walhasil karena sikapnya tesebut, dia sering dijadikan bahan olok-olok rekan-rekannya, tanpa ada perlawanan sedikitpun. Kadang saya nilai rekan-rekannya tesebut sudah sangat keterlaluan.
Pada sebuah kesempatan saya memangil staff saya tersebut ke ruangan saya. Saya ajak dia ngobrol dengan santai, sesantai mungkin. Kemudian saya bertanya ke staff saya tersebut, kenapa dalam pergaulannya dengan rekan-rekan sejawat anda tampak sangat tidak percaya diri? Dan dia menjawab: “saya merasa malu, saya merasa memiliki banyak kekurangan dibanding dengan rekan-rekan lainnya”.
Ternyata setelah saya gali lebih dalam lagi, dia merasa kalau ia lebih bodoh, lebih pendek, bahkan lebih jelek dari rekan-rekan lainnya. Loh ko bisa? Padahal saya sebagai atasannya, bahkan rekan-rekan lainnya tidak memandang dia seperti itu. (Memang sih potongan teman saya itu agak bundar alias pendek dan buncit, ditambah lagi dengan potongan rambut mirip penyanyi dangdut Arafik atau raja rock n roll Elvis Presley…).
Mendengar penjelasannya tersebut, saya tersenyum sejenak, Kemudian saya Tanya ke dia, apa alasan istri anda saat ia setuju menikah dengan anda? (kebetulan dia sudah menikah), dia jawab: “Istri saya berpikir, kalo saya ini lelaki yang baik, bertanggung jawab dan taat terhadap agama.”
Kemudian saya Tanya lagi, apa syarat umum untuk diterima bekerja di sini? Lalu dia jawab: “Syaratnya berkompeten di bidangnya, jujur, ulet, bertanggung jawab dan menyukai tantangan…”
Dan anda sudah memenuhi persyaratan tersebut? Dia kembali menjawab: “iya pak, kalo tidak, saya pasti tidak akan diterima bekerja di sini.”
Lalu kalo istri anda beranggapan anda baik dan perusahaan ini menerima anda karena memenuhi persyaratan, kenapa anda beranggapan kalau diri anda itu rendah dan bodoh?
Akhirnya dia merenungi pertanyaan saya tersebut.
Beberapa hari kemudian saya perhatikan dia sudah mengalami banyak perubahan. Lebih aktif dalam bergaul, tampak percaya diri dan bahkan berani “membantai” rekan-rekan yang mengolok-oloknya. Bukan hanya itu, dalam forum-forum resmi seperti meeting, dia jauh lebih aktif dalam bertanya maupun mengemukakan pendapatnya.
Hingga suatu saat dia kembali menemui saya dan bekata :
“Terima kasih pa, bapak benar. Saya adalah orang yang memiliki banyak potensi, namun karena saya tidak percaya diri, hanya melihat diri saya dari sudut kekurangannya saja, maka semua potensi atau nilai-nilai positif dalam diri saya tertutup begitu saja. Akhirnya saya hanyalah menjadi orang yang minder dan kuper. Tapi sekarang dengan berpikir positif terhadap diri saya sendiri, saya bisa lebih percaya diri terhadap kemampuan yang saya miliki bahkan saya juga dapat berpandangan positif terhadap orang lain secara obyektif.” (YSG)